Ragam Terapi Untuk Bayi Kuning
RAGAM TERAPI
Jika setelah tiga-empat hari kelebihan
bilirubin masih terjadi, maka bayi harus segera mendapatkan terapi.
Bentuk terapi ini macam-macam, disesuaikan dengan kadar kelebihan yang
ada. Berikut penjelasan dari Dewi yang berpraktek di RSIA Hermina Daan
Mogot, Jakarta.
1. Terapi Sinar (fototerapi)
Terapi sinar dilakukan selama 24 jam
atau setidaknya sampai kadar bilirubin dalam darah kembali ke ambang
batas normal. Dengan fototerapi, bilirubin dalam tubuh bayi dapat
dipecahkan dan menjadi mudah larut dalam air tanpa harus diubah dulu
oleh organ hati. Terapi sinar juga berupaya menjaga kadar bilirubin agar
tak terus meningkat sehingga menimbulkan risiko yang lebih fatal.
Sinar yang digunakan pada fototerapi
berasal dari sejenis lampu neon dengan panjang gelombang tertentu. Lampu
yang digunakan sekitar 12 buah dan disusun secara paralel. Di bagian
bawah lampu ada sebuah kaca yang disebut flexy glass yang berfungsi meningkatkan energi sinar sehingga intensitasnya lebih efektif.
Sinar yang muncul dari lampu tersebut
kemudian diarahkan pada tubuh bayi. Seluruh pakaiannya dilepas, kecuali
mata dan alat kelamin harus ditutup dengan menggunakan kain kasa.
Tujuannya untuk mencegah efek cahaya berlebihan dari lampu-lampu
tersebut. Seperti diketahui, pertumbuhan mata bayi belum sempurna
sehingga dikhawatirkan akan merusak bagian retinanya. Begitu pula alat
kelaminnya, agar kelak tak terjadi risiko terhadap organ reproduksi itu,
seperti kemandulan.
Pada saat dilakukan fototerapi, posisi
tubuh bayi akan diubah-ubah; telentang lalu telungkup agar penyinaran
berlangsung merata. Dokter akan terus mengontrol apakah kadar
bilirubinnya sudah kembali normal atau belum. Jika sudah turun dan
berada di bawah ambang batas bahaya, maka terapi bisa dihentikan.
Rata-rata dalam jangka waktu dua hari si bayi sudah boleh dibawa pulang.
Meski relatif efektif, tetaplah waspada
terhadap dampak fototerapi. Ada kecenderungan bayi yang menjalani proses
terapi sinar mengalami dehidrasi karena malas minum. Sementara, proses
pemecahan bilirubin justru akan meningkatkan pengeluarkan cairan empedu
ke organ usus. Alhasil, gerakan peristaltik usus meningkat dan
menyebabkan diare. Memang tak semua bayi akan mengalaminya, hanya pada
kasus tertentu saja. Yang pasti, untuk menghindari terjadinya dehidrasi
dan diare, orang tua mesti tetap memberikan ASI pada si kecil.
2. Terapi Transfusi
Jika setelah menjalani fototerapi tak ada
perbaikan dan kadar bilirubin terus meningkat hingga mencapai 20 mg/dl
atau lebih, maka perlu dilakukan terapi transfusi darah. Dikhawatirkan
kelebihan bilirubin dapat menimbulkan kerusakan sel saraf otak (kern
ikterus). Efek inilah yang harus diwaspadai karena anak bisa mengalami
beberapa gangguan perkembangan. Misalnya keterbelakangan mental, cerebral palsy ,
gangguan motorik dan bicara, serta gangguan penglihatan dan
pendengaran. Untuk itu, darah bayi yang sudah teracuni akan dibuang dan
ditukar dengan darah lain.
Proses tukar darah akan dilakukan
bertahap. Bila dengan sekali tukar darah, kadar bilirubin sudah
menunjukkan angka yang menggembirakan, maka terapi transfusi bisa
berhenti. Tapi bila masih tinggi maka perlu dilakukan proses tranfusi
kembali. Efek samping yang bisa muncul adalah masuknya kuman penyakit
yang bersumber dari darah yang dimasukkan ke dalam tubuh bayi. Meski
begitu, terapi ini terbilang efektif untuk menurunkan kadar bilirubin
yang tinggi.
3. Terapi Obat-obatan
Terapi lainnya adalah dengan
obat-obatan. Misalnya, obat phenobarbital atau luminal untuk
meningkatkan pengikatan bilirubin di sel-sel hati sehingga bilirubin
yang sifatnya indirect berubah menjadi direct. Ada juga obat-obatan yang
mengandung plasma atau albumin yang berguna untuk mengurangi timbunan
bilirubin dan mengangkut bilirubin bebas ke organ hati.
Biasanya terapi ini dilakukan bersamaan
dengan terapi lain, seperti fototerapi. Jika sudah tampak perbaikan maka
terapi obat-obatan ini dikurangi bahkan dihentikan. Efek sampingnya
adalah mengantuk. Akibatnya, bayi jadi banyak tidur dan kurang minum ASI
sehingga dikhawatirkan terjadi kekurangan kadar gula dalam darah yang
justru memicu peningkatan bilirubin. Oleh karena itu, terapi obat-obatan
bukan menjadi pilihan utama untuk menangani hiperbilirubin karena
biasanya dengan fototerapi si kecil sudah bisa ditangani.
4. Menyusui Bayi dengan ASI
Bilirubin juga dapat pecah jika bayi
banyak mengeluarkan feses dan urin. Untuk itu bayi harus mendapatkan
cukup ASI. Seperti diketahui, ASI memiliki zat-zat terbaik bagi bayi
yang dapat memperlancar buang air besar dan kecilnya. Akan tetapi,
pemberian ASI juga harus di bawah pengawasan dokter karena pada beberapa
kasus, ASI justru meningkatkan kadar bilirubin bayi (breast milk jaundice) .
Di dalam ASI memang ada komponen yang dapat mempengaruhi kadar
bilirubinnya. Sayang, apakah komponen tersebut belum diketahui hingga
saat ini.
Yang pasti, kejadian ini biasanya muncul
di minggu pertama dan kedua setelah bayi lahir dan akan berakhir pada
minggu ke-3. Biasanya untuk sementara ibu tak boleh menyusui bayinya.
Setelah kadar bilirubin bayi normal, baru boleh disusui lagi.
5. Terapi Sinar Matahari
Terapi dengan sinar matahari hanya
merupakan terapi tambahan. Biasanya dianjurkan setelah bayi selesai
dirawat di rumah sakit. Caranya, bayi dijemur selama setengah jam dengan
posisi yang berbeda-beda. Seperempat jam dalam keadaan telentang,
misalnya, seperempat jam kemudian telungkup. Lakukan antara jam 7.00
sampai 9.00. Inilah waktu dimana sinar surya efektif mengurangi kadar
bilirubin. Di bawah jam tujuh, sinar ultraviolet belum cukup efektif,
sedangkan di atas jam sembilan kekuatannya sudah terlalu tinggi sehingga
akan merusak kulit.
Hindari posisi yang membuat bayi melihat
langsung ke matahari karena dapat merusak matanya. Perhatikan pula
situasi di sekeliling, keadaan udara harus bersih.
DUA JENIS KUNING
Hiperbilirubin, tutur Dewi , dibagi menjadi dua, yakni ikterus neonatus fisiologis dan ikterus neonatus patologis.
1. Ikterus neonatus fisiologis
(hiperbilirubin karena faktor fisiologis) merupakan gejala normal dan
sering dialami bayi baru lahir. Terjadi pada 2-4 hari setelah bayi
lahir, dan akan "sembuh" pada hari ke-7. Penyebabnya organ hati yang
belum "matang" dalam memproses bilirubin. Jadi, hiperbilirubin karena
faktor fisiologis hanyalah gejala biasa. Meski begitu, orang tua harus
tetap waspada. Bisa saja di balik itu terdapat suatu penyakit.
2. Ikterus neonatus patologis ;
hiperbilirubin yang dikarenakan faktor penyakit atau infeksi. Misalnya
akibat virus hepatitis, toksoplasma, sifilis, malaria, penyakit/kelainan
di saluran empedu atau ketidakcocokan golongan darah (rhesus).
Hiperbilirubin yang disebabkan
patologis biasanya disertai suhu badan yang tinggi (demam) atau berat
badan tak bertambah. Biasanya bayi kuning patologis ditandai dengan
tingginya kadar bilirubin walau bayi sudah berusia 14 hari.
sumber http://bidanpurnama.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar